Tutupnya Media Cetak Tertua Malaysia & Tantangan Era Digital

Tutupnya Media Cetak Tertua Malaysia & Tantangan Era Digital

Tutupnya Media Cetak Tertua Malaysia & Tantangan Era Digital – Perkembangan teknologi informasi tak bisa dihindari telah menciptakan disrupsi pada berbagai bidang. Salah satunya, bisnis media massa konvensional.

Dikutip dari salah satu media pers di Indonesia, dalam dua-tiga tahun ini beberapa media konvensional di Indonesia memutuskan untuk menghentikan bisnis cetak dan beralih ke media online. poker asia

PricewaterhouseCoopers (PwC), lembaga audit dan konsultan global yang berbasis di London, melansir riset menarik bertajuk ‘Perspectives from the Global Entertainment and Media Outlook 2017–2021: Curtain up! User experience takes center stage’.

Tutupnya Media Cetak Tertua Malaysia & Tantangan Era Digital

Dalam riset itu, PwC melakukan survei terhadap 54 negara dengan klasifikasi 17 segmen atau subsektor bisnis dalam klasifikasi industri entertainment & media (E&M). sbobet

Pada 2021, diprediksi industri E&M Indonesia hanya mampu meraup pendapatan US$23-US$25 miliar, di bawah rata-rata pendapatan negara yang disurvei US$41 miliar. https://www.mrchensjackson.com/

Sementara, laju pertumbuhan investasi tahun majemuk atau compound annual growth rate (CAGR) industri E&M Indonesia sebesar 9%-10%, dua kali lipat dari pertumbuhan global yang hanya 4,2%.

Tutupnya Koran Tertua di Malaysia

Pada awal Desember 2018 menjadi hari terakhir koran Malay Mail versi cetak terbit. Malay Mail, koran tertua di Malaysia, akhirnya harus ikut bertekuk lutut pada kedigdayaan internet. Tren senja kala media cetak terjadi di Negeri Jiran.

Edisi terakhir ini diunggah Dhimas Ginanjar, pemimpin redaksi Jawapos.com, di akun Twitternya. Dia menyatakan, “Koran tertua di Malaysia itu kini berpindah secara penuh ke digital.”

Utusan Malaysia ( Jawi : اوتوسن مليسيا; secara harfiah The Malaysia Courier ) adalah surat kabar berbahasa Melayu yang diterbitkan di Malaysia. Berbeda dengan masthead birunya sebagai logo dan merek dagangnya, Utusan Malaysia pertama kali diterbitkan di Jawi pada tahun 1939. Utusan Malaysia menjadi media yang berpengaruh bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat mereka terhadap keputusan Pemerintah Inggris di Malaya.

Meskipun ada laporan awal bahwa Utusan Malaysia dan saudara perempuannya menulis Mingguan Malaysia , Kosmo! , dan Kosmo! Ahad akan ditutup pada pertengahan Agustus 2019, penerbit surat kabar Utusan Group mengumumkan bahwa mereka akan terus menerbitkan setelah menerima suntikan dana sebesar RM $ 1,6 juta dari Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO).

Tutupnya Media Cetak Tertua Malaysia & Tantangan Era Digital

Sirkulasi Utusan Malaysia memuncak hingga 350.000 kopi sehari pada 1990-an dan itu adalah salah satu surat kabar terlaris di Malaysia. Sirkulasi telah menurun sekitar 250.000 pada tahun 2004 dan kemudian turun menjadi 144.438 eksemplar pada paruh pertama 2016. Mingguan Malaysia, edisi Minggu Utusan Malaysia, memiliki sirkulasi 313.495 pada paruh pertama 2016, yang menjadikannya paling populer koran dalam bahasa Melayu.

Menurut kantor berita Bernama, Malay Mail telah berusia 122 tahun, terbit pertama kali pada 14 Desember 1986. Edisi terakhir Malay Mail berisi 60 halaman full color, isinya bukan berita, melainkan nostalgia.

Per 2 Desember, Malay Mail menghentikan produksi koran cetak dan sepenuhnya beralih ke online. Pemimpin Redaksi Malay Mail, Datuk Wong Sai Wan, dalam pesan perpisahannya meminta pembaca untuk ikut serta dalam perjalanan baru media tersebut di dunia digital.

Alasan diberhentikannya edisi cetak sama seperti alasan koran lainnya yang tutup: Kalah bersaing dengan media online. Wong mengatakan, koran Malay Mail cetak hanya dibaca generasi tua yang memerlukan media fisik, bukan digital.

Masyarakat lebih suka membaca berita di internet yang bisa didapatkan dengan gratis. Semakin banyak pembaca, semakin banyak pula pemilik usaha yang beralih memasang iklan di media online. Persaingan ini tak kuat dihadapi media cetak.

“Model bisnis koran cetak tidak sempurna karena bergantung pada iklan untuk bertahan, dan kemudahan akses informasi digital membuat kami merasa tidak berguna sebagai penyedia berita,” kata Wong kepada Bernama.

Apa yang terjadi terhadap Malay Mail sejatinya dialami oleh media cetak di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Banyak media cetak di negara ini akhirnya tutup buku dan beralih ke internet.

Di antara media-media besar Indonesia yang memutuskan berhenti menggunakan tinta dan beralih ke industri digital adalah Tabloid Bola, Majalah Hai, Majalah Kawanku, hingga Jakarta Globe.

Di Amerika Serikat, fenomena ini telah terjadi sejak 2004 lalu. Menurut data Universitas North Carolina (UNC) tahun lalu, ada 1.800 koran lokal yang tutup atau merger karena kalah dengan media online.

Beberapa media di Malaysia juga tengah mengalami masa-masa sulit. Akhir tahun lalu, sebanyak 800 karyawan koran Utusan Malaysia diberi opsi untuk pensiun dini karena keuangan media itu sedang terjepit.

Utusan Melayu tidak lagi mendapatkan dukungan finansial penuh dari UMNO setelah koalisi Barisan Nasional kalah dalam pemilu Mei 2018. Koran Utusan Malaysia dikenal sebagai corong pemerintahan Najib Razak sebelum dikalahkan kubu Mahathir Mohamad.

Padahal di awal 90-an, koran ini bisa mencapai oplah antara 250 ribu hingga 300 ribu. Namun angka itu menurun drastis pada 2005, di awal kebangkitan media online di Malaysia.

Media Prima Malaysia dan Star Media Group, kelompok media terbesar di Malaysia, menurut Bernama telah memutus kontrak 1.000 staf akibat kurangnya pemasukan.

“Koran punya masa depan yang sangat terbatas di situasi sekarang ini,” kata penerbit Malay Mail Datuk Siew Ka Wei.

Tantangan Media Massa di Era Digital

Sebelumnya, Direktur utama Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara Meidyatama Suryodiningrat menjelaskan berbagai tantangan yang akan dihadapi oleh media massa Indonesia di era digital. Tantangan yang paling utama dihadapi oleh media massa ialah maraknya berita hoax.

Meidyatama mengatakan berita hoax dapat menimbulkan kesalahpahaman dan berbagai persepsi di masyarakat. Ia menyebut negara Amerika merupakan salah satu negara, yang pernah  kesulitan menangani berita hoax. Maraknya berita hoax tersebut terjadi saat Pemilu presiden Donal Trump.

“Amerika saja yang merupakan negara adikuasa pernah kesulitan mengendalikan berita hoax tentang Donal Trump, apalagi media di Indonesia,” ujarnya saat mengisi materi kuliah umum di Perpustakaan Unand lantai Lima lalu.

Tak hanya berita hoax, kata Meidyatama, hal lainnya seperti keberagaman media, etika media non tradisional, serta business model menjadi tantangan tersendiri bagi media Indonesia. Terdapat  lebih dari 1000 media lokal cetak Indonesia, serta ratusan media radio dan televisi yang berada di beberapa kelompok besar di Indonesia. Keberagaman media tersebut bersaing dalam menyajikan informasi.

Sedangkan etika media non tradisonal, lanjut Meidyatama, merupakan sikap seseorang dalam bermedia massa. Media sosial turut serta memberikan informasi lewat penggunanya, contoh kecilnya ialah sikap dalam bermedia sosial. Sedangkan model business merupakan tinjauan ekonomi dari sebuah media massa.

“Semakin berkembang media massa, semakin banyak tantangan yang akan dihadapi. Diantaranya ragam media di Indonesia, terutama media massa digital yang mengutamakan kecepatan waktu dalam menyajikan informasi,” katanya.

Media merefleksikan konsumennya dan konsumenlah yang memilih media yang akan dibaca atau ditontonnya, kata Meidyatama.

Sehingga sebuah media akan menyajikan informasi sesuai kebutuhan konsumennya. Ia menekankan bahwa setiap konsumen memiliki pilihan dalam mencari infomasi dari sebuah media.