Mungkinkah TV Senasib Dengan Koran dan Majalah?

Mungkinkah TV Senasib  Dengan Koran dan Majalah? – Dengan adanya pernyataan yang terkenal dari filsuf dan pakar komunikasi Marshal McLuhan: “medium is the message.” Ia menulis itu dalam bukunya Understanding Media: The Extensions of Man yang terbit tahun 1964. Kalimat lawas itu terasa masih relevan hingga saat ini. Dengan “medium is the message” McLuhan kira-kira ingin menyampaikan, yang mengubah masyarakat bukan hanya isi pesannya, tapi pertama-tama adalah medium pesannya. Kehadiran televisi mengubah perilaku audiens. Di semua tempat ketika televisi mulai populer, ruang keluarga menjadi tempat sakral. Semua anggota keluarga berkumpul menonton televisi bersama.

Televisi juga kerap disebut menyebabkan obesitas. Para penikmat televisi banyak hanya duduk menghabiskan waktu di depan layar sambil ngemil. Setelah era televisi, teknologi berkembang melahirkan internet sebagai medium baru. Yang mengubah perilaku masyarakat bukan hanya konten-konten di internet, tapi medium internetnya. Hadirnya internet yang layanannya bisa dinikmati di layar ponsel membuat masyarakat meninggalkan media cetak. Perilaku konsumen informasi berubah. Di internet, beragam konten informasi bisa dinikmati gratis, bahkan bisa memilih mana yang ingin dinikmati. Didasarkan pada survei GlobalWebIndex dari 2014-2018 terhadap 391.130 responden di seluruh dunia, media cetak seperti koran dan majalah, rata-rata hanya dibaca 43 menit per hari. Padahal, media online dikonsumsi 6 jam 45 menit per hari. https://www.queenaantwerp.com/

Mungkinkah TV Senasib  Dengan Koran dan Majalah?

Apakah Anda masih membaca surat kabar? Apakah anak Anda masih memegang surat kabar atau majalah? Di Negara Amerika Serikat, sirkulasi media cetak turun dari 60 juta di tahun 1994 menjadi hanya 35 juta di 2018, itu pun sudah ditambah sirkulasi digital. Pada era kejayaan media cetak, yakni tahun 1990-an, ada lebih dari 6.000 perusahaan koran di Amerika Serikat. Kini, jumlahnya hanya sekitar 4.000 berdasarkan Biro Sensus. Pekerjaan yang terkait redaksi turun hampir 40 persen dari 1994 ke 2014. Angknya terus merosot. Dalam lima tahun terakhir, majalah seperti Newsweek, Glamour, dan The Forward sudah berhenti terbit. Di Inggris, koran The Independent sudah tak terbit lagi. Di Malaysia, koran Utusan Malaysia terakhir terbit pada 21 Agustus 2019 setelah 80 tahun eksis. Peristiwa ini tengah mengejutkan industri media di Malaysia. Pasalnya, Utusan Malaysia adalah koran tertua dengan oplah yang lumayan.

Di Indonesia, sejumlah media cetak harus pamit karena sirkulasi rendah dan tak mampu menopang operasional. Sinar Harapan sudah berhenti terbit. Begitu pula Jakarta Globe dan Koran Tempo Minggu. Di kategori hiburan, Tabloid Soccer, Harian Bola, Kawanku, Trax, Rolling Stone, hingga HAI terpaksa alih medium. Televisikah korban berikutnya? Akankah gelombang digital juga akan menghantam industri televisi? Di Amerika Serikat, puncak bisnis televisi berhenti di 2016. Berdasarkan data agensi periklanan Magna, kue iklan di televisi mencapai 43 miliar dolar Amerika. Namun setelah 2016, angkanya terus turun sekitar 2 persen per tahun. Diprediksi pada 2022, kue iklan yang diperebutkan televisi turun menjadi 37,1 miliar dolar Amerika. Al-Jazeera terpaksa merumahkan 500 karyawannya dan menghentikan operasionalnya di Amerika Serikat pada 2016 lalu. Pergeseran lanskap media membuat langkah pengurangan operasional ini diikuti oleh CNN, ABC, dan CBS.

Didasarkan pada  laporan MAGNA, belanja iklan di digital sudah mengalahkan belanja iklan TV pada 2017. Temuan ini didapat dari survei terhadap 73 negara. Pada 2017, belanja iklan digital mencapai 208,8 miliar dolar AS di seluruh dunia. Sementara televisi meraup 178,4 miliar dolar AS. Sebanyak 41 persen belanja iklan dihabiskan di digital, televisi hanya 35 persen. Di Indonesia, pertumbuhan iklan televisi cenderung stagnan, sementara iklan digital melesat. Berdasarkan data PubMatic, Indonesia adalah pasar yang paling cepat pertumbuhan iklan digitalnya. Dari 2018 ke 2019 saja, pertumbuhan iklan digital di Indonesia mencapai 26 persen, dengan nilai sekitar Rp 36,5 triliun.

Mungkinkah TV Senasib  Dengan Koran dan Majalah?

Sementara bagi pertelevisian, Indonesia mengalami kesamaan tren dengan Amerika Serikat yang kue iklannya turun setelah 2016. Lembaga iklan Adstensity mencatat pertumbuhan iklan berjalan lambat sejak 2016. 2008 Rp 27 triliun 2009 Rp 31 triliun 2010 Rp 36 triliun 2011 Rp 53 triliun 2012 Rp 61 triliun 2013 Rp 81,3 triliun 2014 Rp 99 triliun 2015 Rp 72,5 triliun 2016 Rp 96,8 triliun 2017 Rp 97,45 trliun 2018 Rp 110,46 triliun Dari 2016 ke 2017, kue iklan televisi hanya tumbuh 0,43 persen, dari Rp 96,8 triliun menjadi Rp 97,45 triliun. Padahal tahun sebelumnya pertumbuhannya mencapai 33,52 persen, dari Rp 72,5 triliun menjadi Rp 96,8 triliun. Melonjaknya kue iklan pada 2018 yang mencapai Rp 110,46 triliun tak bisa dilihat sebagai berjayanya televisi. Dikarenakan pada tahun itu, televisi memang kebanjiran iklan kampanye politik, Asian Games, hingga Piala Dunia.

Ketua Bidang Industri Penyiaran Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Hardijanto Saroso menyebut mengecilnya kue iklan untuk televisi sebenarnya sudah mulai dirasakan lima hingga empat tahun lalu. “Di Indonesia sudah declining, memang kondisi hari ini itu kalau tidak salah tidak sampai empat persen per tahun (pertumbuhan kue iklan),” kata Hardijanto. Dalam penelitian Hardijanto terhadap 48 stasiun televisi di Indonesia sejak tahun 1999, tercatat yield atau keuntungan riil dari kue iklan mengecil setiap tahunnya. “Kue iklan yang dilaporkan AC Nielsen itu kira-kira yang bisa mengerat uang cuma 18 sampai 19 persen,” ujar Hardijanto. Perusahaan pun tidak segan-segan mengalihkan budget iklannya ke digital. “Mereka survei berapa banyak konsumennya yang nonton TV, ternyata enggak ada, akhirnya mereka cari pola iklan baru,” kata Hardijanto. Masa depan televisi Dengan begitu menariknya tayangan digital, berapa lama industri televisi konvensional bisa bertahan? Di Negara Indonesia, NET TV mungkin televisi pertama yang terpukul imbas persaingan digital. Target penonton NET TV diyakini tak lagi menonton televisi. NET terpaksa menutup sejumlah bironya, mengurangi karyawan, dan menghentikan program andalannya. “Kita kan di era sekarang dengan kompetisi yang berat, tiba-tiba mengadakan restrategi terhadap perusahaan. Lalu kita membuat strategi baru,” Chief Operating Officer PT NET Mediatama Indonesia Azuan Syahril

Hardijanto memperkirakan nantinya hanya lima hingga enam televisi yang bisa bersaing memperebutkan kue iklan yang semakin kecil. Mereka yang tak cukup kreatif menggaet penonton, bakal tutup dengan sendirinya. “Akan terjadi seleksi alam. Orang yang tidak kreatif, tidak punya dana cukup, tidak punya teknologi, strategi marketing, pasti akan tersingkir,” kata Hardijanto. Televisi yang bertahan, harus beradaptasi dengan permintaan pasar atau industri televisi bakal benar-benar tumbang. Salah satu adaptasi yang dimaksud, menayangkan konten yang mampu meraup penonton masif. “Misalnya dulu kita enggak tahu film Turki meledak. Mungkin program yang lucu-lucu, menarik. Caranya mencari ceruk yang tajam seiring jumlah pemain berkurang,” ujar Hardijanto.

Stasiun televisi harus ikut bermain di dunia digital. Mereka bisa menayangkan produk yang spesifik memenuhi selera kelompok tertentu, sembari menayangkan program yang mampu menembus selera masyarakat secara masif. Tentunya, dengan biaya produksi seminim mungkin. “Di Eropa budget udah dipotong separuh,” kata Hardijanto.

Selain dari itu, perlu ada lembaga pengukur baru selain Nielsen dengan rating dan share-nya. “Kalau itu semua ada mungkin ada kans televisi bisa tetap eksis dan co-exist dengan digital domain,” kata Hardijanto.